Penentuan ibadah yang terkait dengan waktu, ditentukan berdasarkan waktu dimana orang itu berada. Dan hari arafah adalah hari yang bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah. Sehingga penentuannya kembali kepada penentuan kalender di mana kaum muslimin berada.
Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang perbedaan dalam menentukan hari arafah. Kita simak keterangan beliau,
“Yang benar, semacam ini berbeda-beda, sesuai perbedaan mathla’ (tempat terbit hilal). Sebagai contoh, kemarin hilal sudah terlihat di Mekah, dan hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sementara di negeri lain, hilal terlihat sehari sebelum Mekah, sehingga hari wukuf arafah menurut warga negara lain, jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah, maka pada saat itu, tidak boleh bagi mereka untuk melakukan puasa. Karena hari itu adalah hari raya bagi mereka.
Demikian pula sebaliknya, ketika di Mekah hilal terlihat lebih awal dari pada negara lain, sehingga tanggal 9 di Mekah, posisinya tanggal 8 di negara tersebut, maka penduduk negara itu melakukan puasa tanggal 9 menurut kalender setempat, yang bertepatan dengan tanggal 10 di Mekah. Inilah pendapat yang kuat. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا
Apabila kalian melihat hilal, lakukanlah puasa dan apabila melihat hilal lagi, (hari raya), jangan puasa. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, volume 20, hlm. 28)
Adanya perbedaan tempat terbit hilal, mempengaruhi perbedaan penentuan tanggal. Hal ini berdasarkan riwayat dari Kuraib – mantan budak Ibnu Abbas –, bahwa Ummu Fadhl bintu al-Harits (Ibunya Ibnu Abbas) pernah menyuruhnya untuk menemui Muawiyah di Syam, dalam rangka menyelesaikan suatu urusan.
Kuraib melanjutkan kisahnya,
Setibanya di Syam, saya selesaikan urusan yang dititipkan Ummu Fadhl. Ketika itu masuk tanggal 1 ramadhan dan saya masih di Syam. Saya melihat hilal malam jumat. Kemudian saya pulang ke Madinah. Setibanya di Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas bertanya kepadaku
“Kapan kalian melihat hilal?” tanya Ibnu Abbas.
“kami melihatnya malam jumat.” Jawab Kuraib.
“Kamu melihatnya sendiri?” tanya Ibnu Abbas.
“Ya, saya melihatnya dan masyarakatpun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyahpun puasa.” Jawab Kuraib.
Ibnu Abbas menjelaskan,
لكنا رأيناه ليلة السبت، فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه
“Kalau kami melihatnya malam sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30 hari atau kami melihat hilal Syawal.”
Kuraib bertanya lagi,
“Mengapa kalian tidak mengikuti rukyah Muawiyah dan puasanya Muawiyah?”
Jawab Ibnu Abbas,
لا هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Tidak, seperti ini yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami.”
(HR. Muslim 2580, Nasai 2111, Abu Daud 2334, Turmudzi 697, dan yang lainnya).
Kita sepakat bahwa islam adalah agama bagi seluruh alam. Tidak dibatasi waktu dan zaman, sebelum tiba saatnya Allah mencabut islam. Dan seperti yang kita baca dalam sejarah, di akhir dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, islam sudah tersebar ke berbagai penjuru wilayah, yang jarak jangkaunya cukup jauh. Mekah dan Madinah kala itu ditempuh kurang lebih sepekan. Kemudian di zaman para sahabat, islam telah melebar hingga dataran syam dan Iraq. Dengan alat transportasi masa silam, perjalanan dari Mekah menuju ujung wilayah kaum muslimin, bisa menghabiskan waktu lebih dari sebulan.
Karena itu, di masa silam, untuk mengantarkan sebuah info dari Mekah ke Syam atau Mekah ke Kufah, harus menempuh waktu yang sangat panjang. Berbeda dengan sekarang, anda bisa menginformasikan semua kejadian yang ada di tanah suci ke Indonesia, hanya kurang dari 1 detik. Sehingga orang yang berada di tempat sangat jauh sekalipun, bisa mengetahui kapan kegiatan wukuf di arafah, dalam waktu sangat-sangat singkat.
Di sini kita bisa menyimpulkan, jika di masa silam standar hari arafah itu mengikuti kegiatan jamaah haji yang wukuf di arafah, tentu kaum muslimin yang berada di tempat yang jauh dari Mekah, tidak mungkin bisa menerima info tersebut di hari yang sama, atau bahkan harus menunggu beberapa hari.
Jika ini diterapkan, tentu tidak akan ada kaum muslimin yang bisa melaksanakan puasa arafah dalam keadaan yakin telah sesuai dengan hari wukuf di padang arafah. Karena mereka yang jauh dari Mekah sama sekali buta dengan kondisi di Mekah.
Ini berbeda dengan masa sekarang. Hari arafah sama dengan hari wukuf di arafah, bisa dengan mudah diterapkan. Hanya saja, di sini kita berbicara dengan standar masa silam dan bukan masa sekarang. Karena tidak boleh kita mengatakan, ada satu ajaran agama yang hanya bisa diamalkan secara sempurna di zaman teknologi, sementara itu tidak mungkin dipraktekkan di masa silam.
Oleh karena itu, memahami pertimbangan di atas, satu-satunya yang bisa kita jadikan acuan adalah penanggalan. Hari arafah adalah hari yang bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah, dan bukan hari jamaah haji wukuf di Arafah. Sehingga dalam melaksanakan puasa arafah dilaksanakan tanggal 9 Dzulhijah pada penanggalan dimana dia tinggal. Dengan prinsip ini, kita bisa memahammi bahwa syariat puasa arafah bisa dipraktekkan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia tanpa mengenal batas waktu dan tempat.
Allahu a’lam.
Sumber: Konsultasisyariah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar